Lacak

Kamis, 03 Februari 2011

Beriman dengan Santai dan Tanpa Rasa Takut

Oleh Pemanti Jenar

Temanku dengan bangganya mengaku sebagai seorang atheis. Tiap hari dia menghujat-maki Allah. Katanya, Tuhan itu tidak ada, Tuhan itu buta, tuli, goblok, kerdil, banci, tidak adil dan sebagainya. Bapaknya yang tahu itu, jadi malu dan marah besar. Temankupun diusir dari rumah dan tinggal di pondokku.

Aku juga punya seorang teman yang berprofesi sebagai pelukis. Pada beliau ini aku banyak menimba ilmu seni maupun spiritual, tapi beliau tak pernah mau kupanggil guru. Alasannya, “Seni dan spiritual itu seperti dua anak kembar. Tak ada guru dan murid disini sesungguhnya, yang ada kita semua adalah sama-sama murid yang tengah belajar pada sang guru kehidupan. Bedanya, mungkin aku anak SD yang sudah pintar ngoceh berteori, kamu masih anak TK yang suka bernyanyi-nyanyi. Tapi haqiqatnya kita sama, kita masih sama-sama murid yang masih belajar.”



Temanku yang atheis itupun akhirnya aku pertemukan dengan yang pelukis. Dan inilah pendapat sang pelukis tentang si atheis. “Di bawah sadarmu, sesungguhnya engkau mengakui akan keberadaanNya, Kalau tidak mengakui, ngapain kamu memaki-maki sesuatu yang tak ada. Kamu juga butuh Tuhan, paling tidak Tuhan bisa kau jadikan tong sampah untuk membuang segala kekotoran sumpah-sampah-serapah di hatimu. Bukankah Bimbo juga menyanyikan, bahwa Tuhan sebagai tempat mengadu dan berkeluh kesah? Nah, dengan begitu bisa jadi kau ini sesungguhnya lebih banyak berhubungan/berkomunikasi dengan Tuhan, dibandingkan dengan mereka-mereka yang mengaku theis. Bagi Tuhan makian dan pujian tak ada bedanya. Bahkan bisa jadi, Tuhan itu lebih suka makian yang keluar dari ketulusan jiwa, daripada puji-pujian yang hanya jadi penghias bibir saja.”

Perkenalanku dengan sang pelukis ini, memang membuatku merasa disuguhi alternatif spiritual di tengah dominasi otoritas tafsir oleh elite agama, seperti kyai, pendeta, pastor, biksu ataupun sarjana agama. Kamipun sering berdiskusi dengan santai dan terbuka tentang agama dan spiritual, tanpa pernah dilandasi kemutlakan kebenaran karena kami memang sama-sama merasa tidak tahu dan masih belajar tentang apa itu yang namanya kebenaran.

Sang pelukis ini terus-terang memang mengaku sebagai orang yang tak beragama. Ia seorang penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. “Spiritual negeri sendiri, nih.” Katanya suatu kali. “ Tapi itu juga hanya sebuah kotak. Dan bagiku sendiri, orang bebas saja mau masuk kotak emas, kotak besi, kotak kayu, kotak kardus ataupun kotak sabun. Yang penting bisa seperti kata Mohamad Sobary, ‘dalam kotak tanpa terkotak’”.

Yah, dari sang pelukis inilah aku belajar spiritual secara santai, dengan melampaui formalitas agama dan menolak pendekatan agama yang legallistik (Fiqhiyah} yang terlalu mementingkan ritual (syar’iah} dan mau benar sendiri. Penekanan formalistik yang sering mengental jadi sikap eksklusif yang tak mampu melihat kenyataan hidup yang dinamis dan kompleks. Dari menjalani laku spiritual secara santai itu pula aku rasa, hingga sang pelukis itu meneguk energi keimanan yang mencerahkan. Hingga ketika dia aku pertemukan dengan temanku yang atheis, dia masih bisa tersenyum dan bisa melihat sisi-sisi spiritual dari seorang yang mengaku atheis. Coba kalau temanku yang ngaku atheis itu aku pertemukan dengan agamawan formal-ritualis, mungkin sudah akan habis dipukuli dia.

Orang Jawa bilang, “ngelmu iku kelakone kanti laku”. Melalui proses. Pengetahuan memang bisa dikomunikasikan dan diajarkan. Tapi kebijaksanaan tidak bisa ditransferkan begitu saja. Manusia tidak bisa bijaksana, suci, bersih hati dan bersikap dewasa hanya karena membaca kitab suci. Ajaran, doktrin maupun pegangan moral memang tidak bisa mengenai manusia secara mutlak. Itulah sebabnya ajaran-ajaran mulia dan agama diturunkan, tapi dosa tetap saja mengalir terus. Jika kita masuk rumah ibadat yang suci, tidak berarti begitu keluar dari rumah ibadat kita langsung akan jadi orang suci. Temanku malah begitu keluar rumah ibadat, langsung nyuri sandal hahaha……………….

Jadi kita memang harus mau dan berani terjun langsung dalam laku/proses, berbuat, merenung, dan merasakan. Seperti besi yang ditempa, di situ akan terlihat hasilnya seperti apa. Karena hanya dengan demikian, akhirnya akan ada satunya antara apa yang ada di hati, mulut dan perbuatannya. Fiqih maupun Kalam memang dapat membantu perjalanan menuju Tuhan, tapi itu bukan sebuah cara akhir. Masih ada bentuk lain yang lebih ideal untuk mencapai singgasana Tuhan, yaitu dengan laku selalu “eling pada Tuhan” kata orang Jawa, atau laku thariqat bahasanya orang Islam.

Kau hendak mengenal Tuhan?/ Maka janganlah kau menjadi pemecah persoalan/ Seyogyanya kau pandangi sekelilingmu dahulu/ Di situ kau kan lihat Tuhanmu sedang bermain dengan anak-anakmu {Khalil Gibran}.


Jadi pencarian dan pengenalan akan Tuhanlah yang mestinya menjadi wacana utama dalam beragama/spiritualitas, bukannya justru pergulatan agama secara sempurna formal-ritualis yang diutamakan. Karena hanya dengan spiritual yang demikian ini, akhirnya keyakinan seseorang akan timbul karena dilandasi semacam suara kebenaran yang berintikan penyadaran diri. Bukan sekadar tiruan dari pemikiran dogma atau doktrin. Dengan kesadaran yang demikian, akhirnya ibadahpun menjadi semacam kebutuhan, tidak lagi sekadar karena ingin memenuhi kewajiban belaka, apalagi beribadah hanya karena terdorong oleh aneka ketakutan, takut masuk neraka, takut tak kebagian kavling di Surga, takut dikucilkan, takut mertua dan sebagainya.

Kesadaran. Sampai di sini spiritual sepertinya memang tidak butuh lagi cap, merk, legitimasi, pengakuan atau kesepakatan orang lain. Karena spiritual di sini memang tidak lagi diwarnai oleh aneka pamrih atau kepentingan apapun, selain hanya buat menyembah dan berserah diri pada yang Esa. Di sini jadinya berdoa sebisanya juga tidak apa-apa, soal diterima atau tidak doa kita itu, itu toh urusan Tuhan. Dan menurut saya, doa yang terbaik adalah doa yang keluar dari suasana batin kita masing-masing. Jujur dan tulus. Daripada doa penuh puja-pujian yang bagus dan panjang-panjang tapi Cuma hafalan di mulut seperti kefasihan burung berkicau saja. Itu kan namanya menipu.

Jadi bagaimana mungkin kita bisa bersikap-laku jujur dan tulus kepada sesama manusia, jika di hadapan Tuhan saja kita tidak bisa dan mau bersikap-laku jujur dan tulus? Di sini jadi terlihat jelas, memang ada yang lebih vital/prinsipil daripada sekaedar eksistensi dalam spiritual, yaitu esensi. Isi itu lebih penting daripada wadahnya, sebab itulah realita yang akan jadi penilaian Tuhan. Jadi ketika kita bicara soal orang-orang yang tak beragama, esensinya sebenarnya mereka sama juga dengan orang-orang yang beragama. Sama-sama sebagai hamba yang rindu akan Tuhannya. Hanya caranya saja yang berbeda. Orang beragama mencari Tuhan lewat ajaran, sementara orang tak beragama mencari Tuhan lewat laku/proses atau penghayatan langsung. Yang dalam dunia Islam, hal seperti ini {penghayatan} dilakukan oleh para sufi dengan jalan thariqat, yaitu sistem atau metode untuk bisa lebih dekat dan mengenal Tuhan dengan mengadakan semacam olah batin, riyadhah {latihan-latihan} dan mujahadah {perjuangan kerohanian).

Tuhan sudah lebih dari cukup memberi petunjuk-Nya lewat kitab suci dan contoh ketauladanan lewat laku hidup para nabi. Doktrin seperti itulah yang diamini banyak orang beragama saat ini. Padahal doktrin itulah sebenarnya yang telah membuat pedangkalan Iman orang banyak saat ini. Itu doktrin yang menidurkan dan membunuh Tuhan, doktrin yang memberi jarak antara Tuhan dan manusia. Doktrin seperti itulah yang membuat banyak orang takut akan perubahan. Doktrin itulah sesungguhnya yang telah menempatkan agama sebagai berhala baru.

Jadi tanpa dikurung baju agamapun orang bisa dan boleh berkomunikasi dengan Tuhan. Dan jika kita sudah berbaju agama, pada titik akhir keimanan, kitapun mesti belajar untuk bisa membebaskan dari semua itu. Kembali telanjang. Dalam kehidupan bermasyarakat, barangkali kita memang butuh baju asketik. Tapi mestinya baju itu bukan cuma sekadar cerminan kemampuan intelektual kita saja, tapi juga potret dari pergulatan batin kita. Tapi sayang, di zaman globalisasi yang hiruk-pikuk ini, terlalu banyak orang yang bingung dan mengalami krisis identitas. Mereka mencari patokan-patokan lahiriah yang pasti, mereka butuh identitas, ingin eksistensinya diakui, maka baju itupun menjadi sesuatu hal yang penting. Busana anda menunjukkan siapa anda.

Jelas naluri keserakahanlah akhirnya di sini yang lebih banyak bicara. Beragamapun akhirnya hanya seperti mengunyah moralitas kosong. Membanggakan agamapun menjadi hal yang lumrah kita lihat, soal realita sosialnya bagaimana itu bukan urusan. Tidak punya kemandirian dianggap biasa. Hingga akhirnya memang jadi jarang sekali bisa kita temui orang-orang yang berani bersikap lugas, jujur dan berani tampil sebagai dirinya sendiri apa adanya. Jadi mungkin memang ada benarnya, pendapat bapak Jakob Oetama, dalam bukunya “Pers Indonesia” yang mengatakan bahwa masyarakat kita pada umumnya adalah masyarakat yang tidak tulus.

Hal demikian ini yang berbeda dengan orang-orang yang tak beragama. Mereka dinilai bukan dari bajunya, karena memang tidak punya baju. Begitupun dengan kesalehan seseorang tidak dilihat hanya dari kefasihannya dalam mengutip ayat-ayat Tuhan di tiap ucapannya, tapi pada ahklak hidup dan perbuatannya nilai orang itu ditentukan. Biasanya dalam komunitas orang-orang tak beragama ini juga punya etika moral; Lebih baik berbaju sederhana tapi sesuai di hati, daripada berbaju jubah megah-mewah tapi kedodoran. Lebih baik punya pengetahuan ilmu sedikit tapi diamalkan, daripada hapal satu kitab suci tapi cuma buat dipamer dan nyanyi-nyanyikan saja.

Jika kita mau merenung sedikit dengan jujur, sebenarnya para nabi itupun tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beragama. Tapi beliau-beliau ini adalah orang-orang yang beriman atau berTuhan. Beriman itu tidak identik dengan beragama. Dalam bahasanya kaum Budhis, kita harus bisa membedakan antara apa itu agama Budha dan apa itu yang disebut Budha Dharma. Beriman itu hitungannyan perdetak nadi. Jadi bisa saja detik ini Anda beriman tapi detik berikutnya tidak. Sementara beragama, tulis saja agama apa yang Anda suka di KTP, dan itu artinya Anda sudah beragama.

Orang bisa disebut beragama karena punya dua hal mendasar, yaitu punya kitab suci dan nabi. Dan sekarang kita lihat kehidupan para nabi-nabi itu sendiri, bukankah mereka jadi nabi bagi dirinya sendiri? Dan kitab suci, bukankah disusun oleh generasi berikutnya setelah sang nabi itu sendiri wafat? Dengan demikian, bukankah sebenarnya para nabi-nabi itu sendiri tidak bisa kita sebut sebagai orang beragama? Karena tidak punya kitab suci dan nabi?

Sejarah kehidupan Yesus mungkin bias kita jadikan contoh di sini. Di zamannya yang dihadapi Kristus itu bukanlah orang-orang atheis atau para penyembah berhala. Tapi yang dihadapi Almasih pada saat itu adalah para ahli agama. Jadi bukan agamanya yang Isa tentang, tapi sikap hidup para ahli agama yang korup dan telah menghianati kodratnya karena keterpesonaannya pada sangkar emas agama itulah yang Yesus tentang. Maka Yesuspun lalu mengkritik dengan pedasnya para ahli agama pada saat itu, yang dikatainya tak lebih dari kuburan yang dilabur putih. Putih-bersih memang luarnya, tapi bangkai isinya. Dan ironisnya, sejarah yang demikian terulang kembali di agama Khatolik sendiri, yang kemudian kita kenal sebagai cikal-bakal lahirnya agama Kristen Protestan dengan Marthin Luther sebagai panglima reformasinya. Seperti Yesus, Marthin Lutherpun mengkritik dengan pedas dan kerasnya para pemuka agama Khatolik pada saat itu. “Sebuah ranting dapat dipotong dengan pisau roti, tapi sebatang pohon besar memerlukan kampak untuk merobohkannya.” Begitulah kata Marthin Luther yang kemudian memang dia buktikan semua omongannya itu. Tiap hari ia mengayunkan kampak kata-katanya dengan berani dan ganas. Dia katakan, dekrit kepausan sebagai tahi sapi dan para uskup tak lebih dari monyet goblok.

Itulah zaman ketika pertikaian soal agama selalu terkait dengan masalah politik dan ekonomi. Zaman ketika petani sudah terlampau merasa tertindas oleh gereja yang manunggal dengan negara. Jadi sejarah awal semua agama sebenarnya semua sama saja, yaitu sebagai ideologi yang membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang menghimpit. Tapi seiring perjalanan waktu, persentuhannya dengan sejarah kekuasaan, sosial, ekonomi dan politik, seringkali membuat agama hanya jadi rangkaian doktrin kaku, membelenggu dan tak jarang menakutkan.

Jadi para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME itu, pada dasarnya bukan antiagama. Justru sebaliknya mereka sangat menghormati dan tak ingin mengotori kesucian agama. Karena dari agama, kita memang bisa belajar tentang banyak hal. Kalau toh ada hal-hal yang ditentang atau ditolak oleh orang-orang tak beragama, itu hanya terbatas pada institusinya, budayanya dan ekspresi keagamaannya yang sering cenderung arogan dan mengklaim paling benar, suci dan sempurna sendiri itu. Sikap demikian yang sebenarnya bukankah berarti telah korup/khianat dari semangat yang paling dasar dari agama itu sendiri?

Jadi para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME itu pada dasarnya hanya orang-orang yang ingin dinilai dan tampil sebagai dirinya apa-adanya. Maka spiritualnyapun disebut penghayat kepercayan terhadap Tuhan YME. Bukan agama dan tidak pernah dimaksudkan untuk membuat agama baru. Hal inilah yang sering ditakutkan para agamawan. Ketakutan yang lahir dari ketidaktahuan belaka. Tidak tahu, tidak mau tahu, tapi sok tahu. Akhirnya kesimpulan yang diambilnyapun hanya berisi was prasangka belaka. Karena bagi para penghayat, jika sampai membentuk suatu agama baru, setebal apapun itu kitab sucinya dan semulia apapun itu nabinya, sebenarnya spiritual itu telah kehilangan rohnya, mati dan dogmatis. Jadi spiritual di sini memang ditempatkan pada posisinya yang tak mandeg. Tapi seperti air yang mengalir tanpa jeda. Pencarian yang terus-menerus. Jadi kata penghayatan itu memang punya makna proses belajar. Semua manusia pada dasarnya sama, sebagai murid yang harus belajar dan terus belajar pada sang guru sejati, yaitu Tuhan YME. Sampai titik ini, manusia memang tidak lagi dibedakan dari sudut miskin-kaya, pintar-bodoh, laki-perempuan, ras, agama, suku, ataupun status ekonominya.

Jadi seandainya diibaratkan manusia itu sebagai burung, maka agama itu sebagai sangkar emasnya. Sementara keimanan adalah sebuah sarang. Jelas ada yang beda di sini antara sangkar dengan sarang, walau keduanya mungkin punya fungsi yang sama sebagai tempat tinggal. Dalam sangkar, segala kemudahan memang tersedia termasuk makanan massal-instan dari pabrik. Kepintaran kita dalam berkicau juga bisa diajar dengan meniru kicauan burung juara nasional yang sudah dikasetkan. Tapi segala kemudahan itu juga menuntut sebuah kompensasi, kita jadi tak mudah untuk kawin, baik secara fisik, spiritual maupun pemikiran. Bukankah perkawinan beda agama {sangkar} di negara kita masih banyak kendalanya?

Karena lama keenakan di dalam sangkar, sayap-sayap kita juga bisa jadi lumpuh. Kita jadi tak punya kemampuan dan keberanian lagi untuk terbang sebagai dirinya sendiri. Kita jadi canggung dan gagap untuk bersosialisasi secara wajar dengan kehidupan di luar sangkar yang beraneka-ragam dan warna. Dan semua itu adalah potret dari keterpenjaraan jiwa. Kesempitan wawasannya menjadikannya picik, keras kepala, merasa benar sendiri dan segenap ketidakmampuan untuk bersikap kritis. Akan lebih celaka lagi jika kelas {mental} kita hanya kelas burung pipit. Tentu akan terlihat aneh dan ganjil, jika burung pipit dikasih kurungan dari emas yang sedemikian agung dan megahnya. Tidak siap mental pasti. Akhirnya sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, orang beragama tapi maling dan korupsi dilakukan juga. Beragama ya, tapi menghina, menyakiti, sewenang-wenang, membunuh, dilakukan juga. Kedodoran beragamanya. Hal seperti ini jelas sebuah dekandensi spiritual, yang menjurus ke sikap munafik. Ketika ada orang yang merampas hak rakyat miskin, korupsi bahkan membunuh, tapi dianggap sebagai orang saleh karena suka menyumbang ini-itu, sudah berhaji, selalu pakai kopiah dan bawa tasbih kemana-mana.

Ini bedanya dengan keimanan {sarang}. Kita semua tentu butuh sarang {rumah} untuk tinggal dan berlindung, Dan kita bangun sarang sesuai kemampuan dan warna jiwa kita masing-masing. Seperti burung pipit buat sarang kecil dan burung elang bikin sarang besar. Natural. Tapi besar atau kecil sarang yang kita buat itu haqiqatnya sama, yaitu tidak pernah mengurung atau memenjarkan seperti sangkar. Sarang seringkali memang sangat kecil dan sederhana sekali, tapi teramat luasnya menampung kehangatan kasih-sayang.

Bahwasannya dalam agama itu diajarkan soal keimanan, itu memang benar adanya. Jika digambarkan, ini jadi seperti sarang yang berada di dalam sangkar raksasa {Agama}. Dari gambaran ini akan jadi bisa kita lihat dengan jelas, sebab-musababnya mengapa di kalangan agamawan Islam formal-ritualis sering menolak dunia sufisme. Karena dunia sufisme itu memang dunia yang menukik ke dalam batin, keimanan atau sarang. Dan jika seseorang itu telah bisa menyentuh-sujud di dasar/haqiqat keimanan yang ada di batin, otomatis dalam dirinya akan tumbuh pula kepercayaan dan keberanian untuk jadi dirinya sendiri. Akan timbul kesadarannya, bahwa keimanan itu membebaskan. Akibatnya, mereka yang mendalami sufisme memang akan jadi seperti burung yang terbang lepas dari sangkar agama. Mereka akan jadi hidup seperti dengan aturannya sendiri, tidak terkukung oleh syariat-syariat agama dan tidak Islami lagi. Seperti halnya Al-Hallaj dan Syaikh Siti Jenar itu. Abu Nawas, Nasruddin, atau Bahlul, entah mengapa TETAP BEBAS.

Seorang sufi memang tidak punya religi, kecuali religi kebenaran. Dan Tuhan adalah sumber kebenaran itu sendiri. Jadi memang sudah semestinya sebagai orang yang beriman/berTuhan, jika yang utama kita cari itu adalah kebenaran/Tuhan, bukannya mencari pembenaran diri dengan bertudung kesucian agama. Jadi memang pantas disangka, jika orang beriman hanya berhenti dan merasa sudah puas pada tataran “terpesona” pada hal-hal yang serba idieal dan mulia dari agama. Kita sering lupa, bahwa ajaran bukan realita.

Seperti halnya dalam bidang-bidang lainnya, dalam bidang spiritualpun ada juga kalangan elite dan awamnya. Pemahaman seorang guru besar dengan seorang tukang becak yang buta huruf tentang spiritual/agama jelas berbeda. Tapi klaim bahwa seorang guru besar lebih tahu dan dekat dengan Tuhan dibandingkan tukang becak, itu adalah kesombongan dan kebohongan yang besar. Mungkin cerita Sidhartha-nya, Herman Hensse bisa jadi contoh yang bagus di sini. Bagaimana setelah melakukan pencarian kesempurnaan hidup lewat ajaran-ajaran mulia dan berguru menemui orang-orang suci. Akhirnya toh Sidhartha lebih suka memilih tinggal dan hidup bersama Vasudeva, seorang tukang perahu yang buta huruf tapi bijak, sederhana dan berbudi luhur.

Akhirnya Sidhartha juga belajar untuk memahami maknanya hidup hanya dari suara arus air. Yang menurut Ibn’Arabi, segenap alam semesta adalah tajjali atau penampakan dari Allah. Imam Al’Ghazali juga katakan, tauhid sejati adalah penglihatan atas Allah dalam segala sesuatu. Dengan demikian, bukankah mendengar suara alir air sungai yang dilakukan Sidhartha itu sebenarnya sama juga sedang mendengar suara Allah? Bukankah kearifan {wisdom} yang sederhana ini sebenarnya punya nilai yang sama dengan metodologi para idiolog dan theolog? Tapi di hadapan agamawan formal-ritualis yang tak punya kerendahan hati, laku spiritual seperti yang dilakukan Sidhartha itu tidakkah akan dituduh sebagai laku animism, musryik, tahayul, keberhalaan, kufur, sirik dan sebagainya?

Tidak mampu untuk mengkomunikasikan atau mengungkapkan apa yang bergulat dalam batinnya menjadi bahasa verbal atau idiom-idiom theologies, itulah keterbatasan khas orang awam. Tapi meskipun demikian, bisa jadi justru orang-orang seperti Vasudeva itu lebih bisa merasakan kebahagiaan dan ketenteraman batin. Mereka lebih mampu dalam mengendalikan diri, dibandingkan dengan orang-orang seperti kita yang doyan dan pintar ngoceh ini. Mereka lebih bisa dalam mendengar suara hati nuraninya, lebih jujur, tulus dan bijaksana, daripada kita-kita yang katanya orang-orang modern dan melek IT. Mereka lebih konsisten dalam menyatukan antara apa yang ada di hati, mulut dan perbuatannya. Sementara kekurangan dan keterbatasannya, justru jadi semacam rambu-rambu yang selalu memperingkatkan dan menyadarkannya, akan perlunya untuk selalu memelihara sikap rendah hati dan menghargai sesama. Kesadaran sebagai manusia yang tidak sempurna itulah yang justru jadi alasan kesediaan mereka ditegur, mengerti rasa malu dan takut berbuat dosa.

Ada dua hal mendasar yang bisa aku tangkap dari laku spiritual orang-orang seperti Vasudeva itu, yaitu beriman dengan santai dan tanpa rasa takut!

==============================

Sumber :
Facebook Spiritual Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...